Sabtu, 08 Desember 2012

HOPE di SOEKARNO-HATTA dan HOPE di MADURA

Banyaknya ide baru tentu ikut menentukan keberhasilan manufacturing hope. Ide PT Angkasapura 2 menambah high speed taxi way exit yang sedang dikerjakan di Bandara Soekarno-Hatta sekarang ini, misalnya, adalah ide yang konkret.
Mudah dilaksanakan, murah biayanya, dan langsung terasa manfaatnya. Terutama dalam ikut mengatasi kepadatan frekuensi naik-turunnya pesawat. Pesawat yang baru mendarat tidak lagi terlalu lama berada di landasan. Landasan pun bisa segera digunakan pesawat berikutnya.
Apalagi jika taxi way east cross juga bisa segera dibangun. Dua landasan yang dimiliki Bandara Cengkareng itu bisa terhubung dengan lebih fleksibel. Dari atas tower ATC (air traffic control) minggu lalu saya melihat begitu banyak pesawat yang antre terbang dari landasan kiri. Sampai enam pesawat. Itu berarti penumpang harus bersabar menunggu terbang hingga 20 menit.
Sebaliknya, landasan kanan hanya dipakai sesekali. Tidak seimbangnya beban dua landasan tersebut, antara lain, terjadi karena belum dibangunnya?east cross tersebut. Kalau ada jalan pesawat yang menghubungkan dua ujung timur landasan tersebut, tentu pembebanan dua landasan itu bisa lebih seimbang.
Tentu harus dicek secara teknis. Saya bukanlah ahli bandara. Belum tentu yang saya kemukakan benar. Yang jelas, di dalam desain awal pembangunan bandara tersebut memang dimungkinkan pembangunan east cross itu “kelak”, di kemudian hari.
Ternyata ekonomi kita maju lebih cepat daripada yang diperhitungkan. Kata “kelak” yang digambarkan baru akan terjadi pada 2020 itu sudah tiba tiga tahun lalu. Sulitkah membangun east cross itu” PT Angkasapura 2 pasti mampu melakukannya segera. Hanya, lokasi untuk east cross tersebut telanjur dipakai oleh Hotel Sheraton, lapangan golf, dan pergudangan Soewarna.
Saya belum memperoleh informasi mengapa begitu. Mengapa dulu tidak dibangun di lokasi lain sehingga dalam keadaan bandara kelewat padat seperti sekarang ada kemudahan mencari terobosan.
Memang ada kemungkinan membangun east cross tanpa menggusur hotel dan lapangan golf. Namun, biayanya sedikit lebih besar. Rasanya direksi Angkasapura akan bisa mengalkulasi mana yang terbaik.
Yang paling ideal adalah langsung membangun landasan ketiga. Tapi, mengingat tanah yang perlu dibebaskan mencapai ratusan hektare, rasanya tidak mungkin pembangunan landasan ketiga itu bisa selesai dalam tiga tahun.
Sedangkan peningkatan jumlah penerbangan tidak akan bisa dibendung lagi. Apalagi, keadaan ekonomi akan terus membaik setelah dua hari lalu peringkat Indonesia dinaikkan menjadi negara investment grade.
Jalan lain lagi? Ada. Segera memperbesar terminal III yang masih baru itu. Dengan demikian, terminal III bisa menampung lebih banyak penerbangan. Sekaligus berarti bisa memanfaatkan landasan kanan lebih seimbang. Tanpa harus membangun east cross terlebih dahulu.
Ide-ide untuk mengurangi kepadatan Bandara Cengkareng sudah begitu banyak. Ide yang mana yang lebih baik saya serahkan sepenuhnya kepada direksi Angkasapura 2. Ditambah ide Dirjen Perhubungan Udara untuk mengatur ulang jadwal penerbangan agar tidak terlalu banyak pesawat yang menumpuk di jam-jam tetentu. Misalnya, jam 06.00. Padahal, mana mungkin delapan pesawat sama-sama menjanjikan berangkat jam yang sama?
Saya juga sangat menghargai ide baru Angkasapura 2 membuat tower ATC “berwajah dua”. Selama ini seluruh operator ATC yang bekerja di puncak tower tersebut hanya bisa menghadap ke satu arah: landasan kiri. Kalau ada pergerakan pesawat di landasan kanan, operator tidak bisa melihat secara langsung. Kalau proyek dua wajah itu selesai dua bulan lagi, tower ATC itu sudah lebih fleksibel.
Ada lagi hope yang lebih besar. Saat saya berkunjung ke ruang kontrol Bandara Soekarno-Hatta pekan lalu, ada kesibukan baru di sana: memasang peralatan baru. Itulah peralatan yang akan memperkuat ruang kontrol yang lama yang dihebohkan di lalu lintas SMS beberapa waktu lalu.
Menurut SMS yang beredar luas itu, ruang kontrol yang ada sekarang ini sangat membahayakan penerbangan. Kapasitas kontrolnya hanya untuk 460 pergerakan pesawat. Padahal, yang harus dikontrol saat ini adalah 1.200 pergerakan.
Kemampuan peralatan kontrol yang baru dipasang tersebut berlipat-lipat. Begitu juga, kecanggihannya. Peralatan itu bisa memonitor hingga 4.600 pergerakan pesawat. Jauh lebih besar daripada angka pergerakan saat ini. Proyek Kementerian Perhubungan itu semoga sudah bisa digunakan tiga-empat bulan lagi.
Memang, masih ada problem lain: simulator control room itu harus disediakan dalam keadaan baik. Tenaga operatornya juga sangat kurang. Pengadaan SDM itu tidak bisa dilakukan cepat karena kualifikasinya yang sangat khusus. Belum ada sekolah operator ATC. Itu sungguh merupakan peluang yang besar bagi lembaga pendidikan.
Di Soekarno-Hatta saja kita perlu lebih dari 200 operator lagi. Belum bandara-bandara lainnya. Belum lagi begitu banyak bandara baru akan dibangun atau diperbesar.
Direksi Angkasapura 2 sudah memutuskan untuk membuka pendidikan khusus bagi lulusan S-1 yang ingin bekerja di ATC. Sambil menunggu hasilnya, operator senior yang seharusnya pensiun diminta bekerja kembali.
Bagian itu memang memerlukan banyak tenaga lantaran sifat pekerjaannya. Seorang operator ATC hanya boleh bekerja dua jam. Setelah itu, dia wajib istirahat. Bisa tiduran, senam, main-main, atau duduk-duduk di luar ruang. Itulah sebabnya di sebelah ruang yang penuh peralatan canggih tersebut harus disediakan kasur, bantal, alat-alat permainan, dan kursi-kursi untuk bersantai.
Tentu ada cara lain untuk mengurangi kepadatan lalu lintas pesawat di Cengkareng: memperbanyak pesawat besar. Penumpang dua pesawat kecil bisa ditampung di satu pesawat besar. Dengan demikian, lalu lintas pesawatnya bisa turun 50 persen. Tapi, ada hambatan teknis. Bandara lain yang akan menerima pesawat besar dari Jakarta itu belum tentu memenuhi syarat.
Ada lagi cara lain: memperbanyak pesawat yang menginap di luar Jakarta. Sekaligus untuk pemerataan ekonomi. Tentu ada pula hambatan teknisnya. Ide cukup banyak. Tidak harus satu ide yang diterima. Bisa saja gabungan ide atau kombinasi ide. Yang jelas, masih banyak hope di depan kita.
***
Ide baru juga datang dari Madura. Selama ini produktivitas garam kita sangat rendahnya. Kualitasnya pun kurang bagus. Padahal, BUMN garam kita memiliki 5.700 hektare lahan penggaraman di Madura. Padahal, kita ini perlu dua juta ton garam setiap tahun. Padahal, kita ini masih terus saja impor garam.
Ide baru ini datang dari Dirut PT Garam S.U. Irredenta. Tidak usah ditanya mengapa orang asli Madura itu namanya mirip orang Italia. Ayahnya, seorang guru SMP di Surabaya, memang pernah bersekolah di Italia. Toh, nama depannya tetap sangat Madura: Slamet Untung. Sudah slamet untung pula.
Mulai tahun depan dia akan bikin gebrakan: melapisi seluruh lahan penggaramannya dengan menggunakan membran. Tentu akan memerlukan berpuluh-puluh hektare membran. Rencana tersebut perlu saya “bocorkan” sekarang agar pabrik-pabrik plastik di dalam negeri segera berpikir untuk memproduksi membran. Tentu yang memenuhi persyaratan untuk lahan garam. Jangan sampai untuk urusan membran saja kita harus impor. Mumpung masih ada waktu. Mumpung masih musim hujan.
Dengan begitu, air laut yang akan dijadikan garam akan menggenangi lahan yang sudah dilapisi membran. Keuntungannya ada tiga. Pertama, pembentukan garamnya bisa beberapa hari lebih cepat karena suhu udaranya lebih panas. Kedua, tidak perlu lagi ada satu lapisan garam paling bawah yang tercampur lumpur. Ketiga, kualitas garam kita menjadi kelas satu semuanya.
Selama ini lapisan garam yang paling bawah tidak bisa dijual sama sekali karena bercampur lumpur. Lapisan atasnya masih bisa dibersihkan dari lumpur, tapi perlu biaya. Itu pun hanya akan menghasilkan garam kelas III.
Dengan idenya itu, Slamet Untung akan bisa menyelamatkan industri garam sekaligus membuat BUMN untung. Benar-benar sebuah hope yang sangat besar. Apalagi kalau kelak petani garam kita juga bisa mengikuti jejak Slamet ini. Pemda pun (gubernur maupun bupati) rasanya tidak akan sia-sia kalau membantu pengadaan membran untuk petani garam kita. Dari Madura akan kita mulai revolusi ladang garam bermembran.
Slamet Untung masih punya ide lain. Yakni, menjadikan lahan 5.700 hektare itu tetap produktif di luar musim garam yang hanya 4,5 bulan setiap tahunnya. Jangan sampai selama musim hujan, ketika tidak bisa memproduksi garam, lahan itu dibiarkan menganggur.
Untuk apa? Slamet akan memanfaatkannya untuk budi daya bandeng! Bahkan, di lahan yang bukan untuk penggaraman, dia akan bertanam rumput laut. Saya pun langsung menyetujuinya. Bahkan, saya akan mendukungnya dengan pabrik pengolahan rumput laut sekalian
Dua tahun lagi, setelah garam Madura kembali berjaya, pola yang sama harus bisa diterapkan di NTT. Di sana ada lahan luas yang cocok untuk pembuatan garam. Dalam dua tahun ini, sambil menunggu selesainya proyek membranisasi di Madura, di NTT bisa mulai dilakukan pengurusan dan penyiapan lahannya.
BUMN Garam Madura sudah siap ekspansi ke NTT. Bahkan, hasilnya bisa saja lebih besar daripada yang di Madura. Mengapa? Di NTT bisa memproduksi garam selama 7 bulan dalam setahun!
Setelah Madura dan NTT beres, barulah kita bicarakan apakah masih perlu atau tidak impor garam. Memperdebatkannya sekarang hanya akan sia-sia. Saat ini masih begitu jauh jarak antara keperluan garam kita yang dua juta ton dan produksi garam nasional kita yang belum sampai 400 ton!
Setidaknya sudah ada hope yang bisa di-manufacture di sini. (*)
Dahlan Iskan
Menteri  BUMN

0 komentar:

Posting Komentar